Cari Blog Ini

Senin, 07 Februari 2011

C-GENERATION


Bunglon - Sindo 21 Oktober 2010
DI sebuah salon rambut di Pondok Indah Mall, segerombolan anakanak perempuan berusia belasan tahun berebut minta dilayani seorang hairdresser terkemuka. Di salon ini, tarif penata rambut berbeda-beda, tergantung senioritas dan keahlian.

Tentu saja hairdresser yang saya maksud adalah yang rate-nya paling tinggi. Tanpa ditanya, seorang di antara anak-anak itu segera mengeluarkan perangkat iPad dari dalam tasnya. Dalam sekejap dia sudah tersambung ke situs mesin pencari Google. Dari situ jari-jarinya bergerak lincah dan menulis sebuah nama.”Aku mau rambutku seperti Gossip Girl,” ujarnya. Hairdresser senior yang berusia sekitar 30 tahunan, itu pun terbelalak. Dia belum familier dengan nama itu.

Namun belum sempat dia berkata-kata, anak perempuan lainnya yang lebih besar segera menyambar iPad temannya. Dia juga melakukan googling, dan berucap keras. ”Aku ingin dipotong seperti Lady Gaga,”katanya keras-keras. Itulah potret kecil remaja kelas menengah Jakarta yang merupakan bagian dari komunitas global dan dikenal dengan sebutan Gen C (generasi C).Mereka bukanlah sebuah kohor yang dibatasi usia, melainkan dibentuk oleh teknologi digital.

Jadi, usianya bisa saja termasuk anak atau cucu Anda yang baru berusia 7 tahun sampai Anda sendiri, orang dewasa 35 tahunan. Pokoknya dia berada di tengah-tengah teknologi digital. C, menurut penelitinya–Dan Pankraz (Australia)–bisa berarti content, connected, digital creative, co-creation, customize, curiosity, cyborg, dan juga chameleon (bunglon). Loh,kok bunglon?

Berubah Sekejap

Di situs Youtube, Anda bisa menemukan ratusan video tentang bunglon yang dibuat para pemiliknya. Bunglon yang menjadi hewan piaraan (pets) memang amat beragam bentuk dan warnanya, tetapi mereka punya kesamaan yaitu cepat berubah warna. Salah satu video yang sempat saya download dan sangat saya sukai dikirim seseorang pada 23 Maret 2009 dan telah diakses sekitar 2,5 juta orang di seluruh dunia.

Ketika bunglon itu diberikan kacamata berwarna ungu maka kulitnya pun berubah menjadi ungu. Demikian juga saat diberi kacamata plastik berwarna merah, lalu cokelat, dan hijau, dia berubah seketika. Seperti itulah generasi C menurut Pankraz yang hari Selasa lalu didatangkan biro riset global The Nielsen Indonesia. ”Mereka cepat berubah mengikuti arus informasi yang mereka terima”. Maka sikap mereka di siang hari bisa jadi berubah, berbeda dengan sikapnya di pagi hari.

Mereka dibentuk oleh content dan sangat addicted (kecanduan) dengan social media. Hidupnya dari detik ke detik ada di depan jaringan sosial digital itu. Mereka juga menjadi citizen journalist yang menulis opini sebebas-bebasnya dan melaporkan apa saja yang dialami, dilihat, dan dirasakan, setiap langkahnya maju ke depan memegang kacamata berbeda warna. Seperti anak-anak remaja yang saya temui di sebuah salon tadi, rambut mereka pun cepat berubah.

Anda bisa mengatakan mereka konsumtif dan narsis.Mereka bilang,”Aku emangnarsis!” Saya juga mulai sering melihat mahasiswa, bahkan di S2 sekalipun yang warna dan potongan rambutnya diganti-ganti setiap minggu. Kadang mereka terlihat cantik tapi kadang saya melihatnya mereka menjadi aneh, angker, galak, seperti frustrasi ditinggal pacar. Kadang, kalau sedang jahil, saya pun mengganti suasana.Saya menyebut sesi yang saya ajarkan itu sebagai ”naik panggung”.

”Kalian buat foto diri, ukuran besar, berwarna, tempelkan, setengah halaman karton besar, lalu beri deskripsi tentang diri kalian di bawahnya.Tulislah apa saja yang kalian mau orang lain nilai tentang diri kalian,” begitu instruksi saya. Seminggu kemudian saya mengundang mereka makan di rumah saya, dan sebelum acara makan bersama dimulai, satu persatu wajib naik ke atas panggung membacakan potret dirinya.

Kelas ini menjadi sangat ramai karena apa yang mereka ucapkan atau inginkan tentang diri mereka ternyata berbeda dengan apa yang dikatakan teman-temannya. Saya pun merekam penampilan mereka satu persatu. Dan setelah saya ajak bicara, banyak yang menutup mukanya sambil tertawa ngakak dan berkata, ”Oh my God!” Mereka bilang bosan dengan rutinitas,makanya cepat bergantiganti. Mereka tidak mengerti bahwa kita yang melihat menjadi bingung.

Tetapi, mereka bilang jarang sekali orang yang memberi perhatian atau penilaian. Makanya mereka semakin tampil lebih bold, lebih jelas. Tetapi semua orang bilang, ”Aku tak mau peduli, itu urusanmu.” Makin anehlah orang-orang itu.Warna aksesori yang dipakainya sungguh tidak matching, tidak indah.Ketika semua orang diajak peduli,barulah kelihatan aslinya. Mereka semua diajak memberi komentar. Mulai dari pakaian, rambut,aksesori,cara berpakaian, berkata-kata,sampai perilakunya.

Ternyata tidak sulit memperbaiki karakter remaja. Selepas sesi naik panggung, saya segera melihat perbedaan yang mencolok. Sikap duduk yang semula terkesan semaunya juga berubah. Di tahun-tahun berikutnya, kala mereka mengambil mata kuliah yang lebih advance bersama saya, saya sudah menemukan pribadi yang lebih matang dengan sikap yang lebih altruistis. Kendati demikian, kata-kata Dan Pankraz bahwa Gen C adalah chameleon tetap mengganggu otak saya.

Saya khawatir bila kelak anak-anak saya berperilaku bunglon bak politisi yang tak jujur dan berorientasi pada kekuasaan. Sebagai rakyat, saya sering dibuat bingung.Mereka mengajak kita membenci pemerintah tetapi besoknya mereka sudah menjadi staf ahli atau staf khusus presiden dan melawan teman-temannya yang dulu ikut menyerang atasannya bersama-sama. Sikap politik berubah-ubah tergantung jabatan yang diberikan. Ada jabatan,pemerintah baik.Tak ada jabatan,pemerintah itu gagal.Sungguh mengerikan.Di mana letak karakter orang-orang itu? Maka jangan heran bila rakyat lebih banyak memilih menjadi golput karena karakter telah absen.

Generasi C

Sejak istilah ini beredar, saya melihat sudah semakin banyak orang Indonesia yang menggunakan kata Gen C. Bahkan, di Yogyakarta saya pernah melihat sebuah warnet yang diberi nama Warnet Gen C. Saya jadi teringat dengan anak-anak saya yang pernah mengikuti saya ketika bertanya pada ibu saya. “Waktu saya lahir, saya bawa apa?”begitu tanya saya pada ibunda. Dia menjawab, “No, nothing.Cuma ada darah saya saja di tanganmu,Nak.”

Anak saya lalu menirukan pertanyaan itu pada ibunya, ”Kalau aku bawa apa,Bu?“ Ibunya tak bisa menjawab. Tetapi saya segera memberi tahu, “Kamu lahir dengan memegang mouse di tangan kananmu.” Anak saya tersenyum senang. Itulah Gen C. Dia lahir dengan memegang mouse di tangan kanannya, segera terhubung dengan sukunya masing-masing yang menjadi seleranya. Sukunya bukanlah Aceh atau Manado,Papua, atau Ambon. Juga bukan Jawa atau peranakan Tionghoa.

Suku mereka adalah kelompok yang sering mereka temui di dunia maya.Suku itu bisa game,science,ragnarok,biology, animal planet, the magician, entrepreneurship, atau apa saja. Mereka terkait (connected) ke dalam dunia maya secara online dan real time.Dunia yang jauh menjadi sangat dekat, sementara yang dekat menjadi sangat jauh. Seorang teman, ayah dari dua anak yang masih kecil-kecil, mengatakan,“ Saya buat rule, kalau kita sedang makan bersama,semua orang harus menaruh BlackBerry (BB) atau ponselnya di dalam kotak di sebelah yang selalu saya bawa.

Kita semua harus kembali dekat di dunia riil.” Dia menjadi kelihatan lucu, mau ke restoran saja kotaknya selalu ikut. Tetapi, ini lebih baik daripada keluarga-keluarga yang semakin sering saya lihat di restoran. Di mana semuanya diam, asyik dengan ponselnya masingmasing sampai makanan tiba.Yang dekat menjadi jauh. Orang-orang di sebelahnya menjadi terasa jauh, sepi.

Dan Pankraz bercerita, bagaimana eksperimennya dilakukan akhir tahun lalu.Sahabat-sahabatnya diajak bertemu dua malam dalam suatu event. Ponsel mereka dikumpulkan, lalu perilaku mereka direkam di depan kamera. Wow, mereka terlihat seperti orang yang terjangkit ayan, gagap, bingung, bergetar, seperti lost in the space. Ini jelas sebuah kemajuan sekaligus persoalan yang harus kita hadapi bersama. Bagaimana menurut Anda? (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/358884/34/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar